Anggia Farrah Rizqiamuti, SpA.MKes, “Anak adalah Peniru Ulung, Maka Berikanlah Contoh yang Positif”

Bagikan:

MajalahInspiratif.com, Jakarta – Kesibukan dr. Anggia Farrah Rizqiamuti menjalani profesi sebagai dokter anak, bahkan saat ini tengah melanjutkan pendidikan sub spesialisasi syarat anak, membuat waktu yang ia miliki bersama kedua buah hatinya kian terbatas.

Agar tidak melewati  proses tumbuh kembang anak-anaknya, dokter yang akrab dipanggil dr. Gia ini berusaha untuk menjaga komunikasi yang intens dengan mereka, meski hanya lewat saluran telepon ataupun video call.

“Bagi saya keluarga nomor satu, karena masa kecil seorang anak itu tidak terlewatkan dua kali. Makanya sesibuk apapun kita harus tetap optimalkan waktu bersama anak. Walaupun saya sedang praktek di rumah sakit, saya harus tetap ngecek anak saya makan apa. Dan kalau ada kesempatan saya luangkan waktu mengantar anak ke sekolah. Selain itu setiap Sabtu-Minggu jadi moment quality time barsama anak-anak dan itu sangat penting bagi saya,” tekan dr. Gia.

Berikan Contoh Positif.  Anak-anak, terutama usia bayi dan balita umumnya memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi. Sehingga mereka kerap mencoba sesuatu demi memecahkan rasa penasaran tersebut.  Oleh sebab itu, dr. Gia menyarankan orang tua untuk memberikan kesempatan bagi anak mengeksplor lingkungannya.

“Anak itu harus punya kesempatan untuk mengeksplor lingkungan, terutama di usia balita pada 2 tahun pertama yang merupakan masa pertumbuhan otak yang pesat. Jadi kita harus memfasilitasi perkembangan otak mereka. Jangan terlalu sering melarang dan memarahin anak, karena ketika sudah besar dia akan sulit untuk mengekspresikan emosinya, akibat terlalu banyak diredam oleh orang tuanya dan akhirnya tidak akan berkembang juga. Efek jangka panjangnya akan timbul kepercayaan diri yang rendah. Tetapi jangan juga diacuhkan, karena di usia-usia tersebut selain dia butuh media untuk menyalurkan rasa keingintahuannya, dia juga butuh belajar untuk disiplin, belajar untuk eksplor dan mengenal emosinya sendiri,” tekan dr. Anggia.

Untuk itu, dokter berkacamata ini menyarankan orangtua untuk memberikan contoh-contoh positif terhadap anak. “Sikap kita terhadap anak harus idealis jadi kita menyontohkan juga jangan hanya marah-marah dan melarang-larang yang bahkan kita sendiri melakukan hal yang sama. Jadi walaupun kita kesal, marah atau mengatakan tidak kepada anak, harus menjelaskan juga alasannya  apa. Jadi anak itu harus diberikan contoh lebih dulu. Ketika kita melarang maka kita juga tidak boleh melakukan hal yang sama. Jangan hanya asal melarang tapi tidak ada alasannya. Sehingga kita bukan menjadi sosok yang ditakuti, melainkan sebagai teman namun dengan batasannya. Karena karakter anak terbentuk hingga usia 18 tahun,” tambah dr. Gia, tegas.

Ditambahkan dr. Gia, ketika anak melakukan kesalahan juga sepatutnya tidak  dibentak atau dimarahi, tetapi diluruskan supaya ia belajar. “Bagaimana anak mau belajar jika segala hal kita larang. Jadi biarkan anak berkembang sebagaimana mestinya, kita cukup mengarahkan sebagai orang tua,” ujar dokter yang saat ini masih menetap di Bandung menggelar praktek di Purwakarta ini.

Batasi Gadget. Pesatnya perkembangan teknologi, membuat pengguna internet di dunia ikut melambung. Karena lewat teknologi digital tersebut, masyarakat jadi lebih mudah dalam mendapatkan informasi. Baik dari dalam maupun luar negeri di segala bidang. Hal tersebut juga dirasakan dr. Gia, yang lebih mudah mendapat ataupun bertukar informasi terkait bidang yang digeluti.

“Dalam bidang yang saya tekuni, kecanggihan teknologi sangat memudahkan saya, karena kita bisa lebih mudah mengakses informasi seputar kesehatan terutama kesehatan anak. Namun, di samping itu internet juga memiliki sisi negatif, terutama pada anak-anak. Untuk itu kita harus tetap bisa membatasi penggunaan internet dan gadget pada anak-anak. Seperti sepanjang pandemi COVID-19 lalu, dimana banyak orangtua WFH dan bekerja lewat handphone. Akibatnya anak jadi ikut keranjingan bermain handpnone, sehingga menimbulkan berbagai masalah pada anak. Seperti gangguan interaksi sosial hingga paparan radiasi yang bisa memengaruhi kemampuan berbicara mereka karena interaksinya pasif. Akibat sepanjang hari hanya bersama gadget,” ungkapnya, lirih.

Demi membatasi penggunaan gadget pada anak, dr. Gia menyarankan orangtua untuk memberikan aktivitas yang bisa mengalihkan perhatian anak pada beda pipih tersebut. Salah satunya menerapkan kebiasaan membaca buku, yang juga mampu meningkatkan perbendaharaan kosakata anak.

“Bagi anak yang belum bisa berbicara, sebaiknya hindari buku-buku bilingual atau buku-buku berbahasa asing. Agar  bahasa yang ditangkap anak tidak tercampur-campur. Jadi tetapkan dulu bahasa ibu atau bahasa yang biasa digunakan untuk komunikasi sehari-hari, setelah lancar bisa masuk bahasa lain,” tekan dr. Gia.

Menurut dr. Gia, selain memberi kebebasan anak untuk bereksplorasi namun tetap dalam pengawasan, membaca buku juga bisa mengoptimalkan perkembangan otak anak di masa keemasan. Cara tersebut telah diterapkan dr. Gia kepada buah hatinya, Abdillah Abqary Rajab, yang kini berusia 4 tahun 11 bulan. “Sebelum genap berusia 2 tahun, saya sudah sering mengajak dia ke toko buku. Sebelum pandemi, kami bahkan punya jadwal rutin ke toko buku. Walhasil, hingga saat ini dia selalu minta dibacakan buku sebelum tidur,” terangnya.

Terpanggil Dalami Dunia Syaraf Anak

Keinginan dr, Gia melanjutkan pendidikan sub spesialisasi dalam bidang syaraf anak, bukanlah tanpa alasan. Ia melihat, di daerah tempat tinggalnya, Purwakarta, belum ada dokter yang khusus menangani masalah syaraf anak. Untuk itu, ia berharap kelak ilmu yang dimiliki bisa bermanfaat untuk memantau perkembangan anak-anak yang berisiko keterlambatan, menangani anak-anak yang mengalami epilepsi, kejang, infeksi susunan syaraf otak dan lain-lain.

“Saya berharap keilmuan syaraf anak ini bisa saya aplikasikan di daerah tempat saya bekerja di Purwakarta. Bidang ini berkaitan dengan masalah infeksi susunan saraf pusat, gangguan perilaku, serta gangguan belajar pada anak. Saya berharap ibu-ibu dapat lebih peduli untuk melengkapi vaksin anak terutama pada anak-anak yang lahir dengan resiko tinggi. Sedangkan untuk anak-anak sehat sebisa mungkin rutin ke dokter untuk memeriksa perkembangannya,” tuturnya.

Di bidang pendidikan barunya tersebut, dr. Gia menemukan sebuah fakta mengenai gangguan syaraf pada anak. Ia menjelaskan, ada dua hal yang bisa memicu terjadinya gangguan syaraf pada anak, yakni non-infeksi dan infeksi, juga kelainan perkembangan bawaan. “Lihat faktor risikonya lahir seperti apa riwayat kelahiran dan riwayat keseluruhan. Kita memang tidak bisa melihat dan diagnosis dengan cepat. Jadi kita harus anamnesis mewawancarai orang tua sampai detail. Bisa disembuhkan tergantung kasusnya masalah di mana dan terapi sudah tersedia di mana-mana atas saran kita anak ini nanti diterapinya bagaimana sesuai permasalahan yang dialami.”

Kedepan, dr. Gia berencana membuka klinik anak dan fokus berkarya di bidang syaraf anak, serta terus mengedukasi orang tua agar aware terhadap perkembangan neurobehaviour anak. Ia berharap bisa mengalokasikan dan mendukung kegiatan kesehatan agar masyarakat Purwakarta dapat teredukasi dalam hal syaraf anak.

Giat Berbagi Konten Seputar Kesehatan Anak

Sebagai dokter anak yang sangat aware terhadap kesehatan anak-anak, dr. Gia tak segan berbagi ilmu kepada siapa saja. Saat ini, ia juga tercacat sebagai dosen tamu di IKES Rajawali dan Poltekes Kemenkes Bandung, untuk mata kuliah ilmu kesehatan anak.

Selain itu, ia juga rutin mengedukasi masyarakat melalui IG Live dan WhatsApp group dengan nama Chat and Share With Dokter Anggia, yang saat ini memiliki 120 anggota dari berbagai daerah selain Purwakarta. Di WhatsApp group tersebut, para anggota diberikan kebebasan untuk bertanya perihal apa saja tentang keluhan anak tanpa dikenakan fee.

“Konten saya aplikatif dan rutin promosi di Rumah Sakit tempat saya praktik. Untuk grup chatnya masih terbuka dan kalau ada yang mau masuk grup dipersilakan. Ranah saya di dokter anak.Jadi saya jawab sesuai bidang saya.Tapi jika ada kegiatan yang berhubungan dengan seminar-seminar anak untuk awam, saya share juga sehingga ibu-ibu mengetahui informasi kegiatan apa saja yang bisa dilakukan.”

Me Time Bersama Keluarga

Menekuni bidang yang sama dengan sang suami, dr. Fathurrahman, keduanya menyadari akan kesibukkan masing-masing. Namun, hal tersebut menjadi alasan dr. Gia dan suami untuk mengalokasikan waktu bagi keluarga, terutama pergi bersama anak-anak mereka di kala weekend. Meski setiap harinya, ibunda dari Abdillah Abqary Rajab (4 tahun, 11 bulan) dan Fathia Haura Azzahra (8 bulan) ini, selalu meluangkan me time bersama anak.

Perempuan yang juga berprestasi di bidang seni, mulai dari menjadi penari bali sejak SD bahkan sempat meraih juara umum dalam lomba tari bali tingkat perguruan tinggi, serta piawai memainkan biola dan bergabung bersama tim orchestra yang kerap menggelar konser di acara wedding ini, juga kerap menghabiskan waktu senggangnya membaca buku dan travelling sambil mengikuti seminar.

Bagi dr. Gia, menyisihkan waktu me time sangatlah penting. Selain untuk me-refresh  pikiran, me time juga membuat hidup terasa lebih  berwarna. “Kalau hanya di seputar akademik saja monoton, jadi harus bikin diri sendiri jadi happy,” pungkasnya. Iffah

Bagikan:

Bagikan: