MajalahInspiratif.com, Jakarta –Dunia sosial memang bukan hal baru bagi seorang Yoddy Tri Aprianto. Sejak usia muda, ia bahkan dikenal sebagai pengusaha sukses yang amanah dan berjiwa sosial tinggi. Tak sedikit pemilik yayasan yang menyerahkan bisnis-bisnis sosial mereka kepada sosok yang akrab disapa Yoddy ini. Namun, setelah salah satu anaknya meninggal karena kanker dan prahara besar terjadi dalam rumah tangganya, Yoddy memutuskan untuk meninggalkan semua kemewahan yang telah dicapai, dan memilih memulai hidup dari nol. Tanpa ia duga, pertolongannya kepada sesama selama ini membuat pintu rezekinya senantiasa terbuka lebar.
Lahir dan dibesarkan dalam keluarga berkecukupan, tak lantas membuat Yoddy tumbuh menjadi pribadi yang sombong. Ia bahkan dikenal sebagai sosok yang supel dan mau berbaur dengan masyarakat biasa. Soal pekerjaan, Yoddy yang memiliki kedekatan dengan para pejabat ini juga dikenal memiliki idealisme tinggi. Selain tidak perhitungan, ia selalu menolak bonus atau gaji jika menurutnya tidak sesuai dengan kinerja.
Sejak usia 20-an, Yoddy yang saat itu menjalankan bisnis property dan kontraktor, juga dikenal memiliki jiwa sosial tinggi. Ia tak segan menyerahkan sebagian besar pendapatannya ke yayasan sosial, mulai dari mesjid, panti asuhan, pondok pesantren, yayasan kanker hingga yayasana mualaf. “Bisa dibilang jiwa sosial ini diwariskan oleh ayah saya. Selama hidup, beliau diam-diam selalu memberikan sumbangan ke banyak yayasan dan pondok pesantren,” ucap Yoddy.
Bergabung Bersama Yayasan Ponpes. Diceritakan Yoddy, di tahun 1987, ia diminta salah seorang pendiri sebuah yayasan pondok pesantren (ponpes) di Jakarta, untuk bergabung sebagai pengurus. Yayasan ponpes tersebut termasuk terbesar di Jakarta, karena luasnya kurang lebih 4 hektar.
Meski telah bergabung sejak tahun 1987, namun ketika itu Yoddy hanya berstatus sebagai outsider. Barulah di tahun 2002, ia resmi bergabung sebagai pengurus utama dan di tahun 2009, diberikan amanah oleh salah satu petinggi yayasan ponpes yang merupakan Menteri Era Orde Baru untuk melanjutkan pengelolaan dan operasional yayasan ponpes yang terdiri dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, pondok pesantren dan juga mesjid, secara penuh. “Di sekolah dan ponpes saya memegang posisi sebagai Manajer Dikdasmen (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah), di Perguruan Tinggi sebagai Staff Ahli dan di mesjid sebagai penasihat masjid,” cerita Yoddy.
Dikisahkan Yoddy, saat memegang kendali penuh, kondisi keuangan yayasan ponpes tersebut tidak dalam keadaan baik. “Selain jumlah siswa-siswinya hanya sedikit, ketika saya masuk keuangan yayasan ponpes hanya Rp 360 ribu. Tentu tidak cukup untuk menggaji para guru dan staff lain. Setelah dilakukan audit, ternyata pengolala sebelumnya banyak yang tidak amanah. Alhamdulillah, para petinggi yang masih ada bersedia membantu pendanaan supaya kami bisa kembali menghidupkan yayasan ponpes,” terang Yoddy, yang saat itu masih menjalankan bisnis kontraktor dan property.
Titik Balik. Sepak terjang Yoddy yang sangat royal dengan dunia sosial membuat banyak orang mempercayakannya menjalankan yayasan sosial mereka untuk dikelola. Bahkan ada yang tak segan-segan memberikan minimarket secara cuma-cuma untuk ia kelola. “Ketika itu selain yayasan ponpes saya juga dipercaya menjalankan beberapa yayasan pendidikan dan sosial yang semua pendanaannya saya yang himpun. Sampai ada satu yayasan di kawasan Bekasi Timur, setelah 3 tahun saya kelola yayasan tersebut maju pesat,” ucapnya penuh syukur.
Namun, kegembiraan Yoddy saat itu sempat pudar kala salah seorang anaknya divonis dokter menderita kanker. Dan pada akhirnya meninggal dunia setelah 6 tahun berjuang. Sejak saat itu Yoddy berjanji kepada Allah SWT melepas hal-hal yang memberatkan pikiran dan konsentrasi dalam mencurahkan perhatian kepada anak-anaknya. Apalagi, ketiga buah hatinya memilih untuk tinggal bersama Yoddy, ketika ia bercerai dengan istri pertama.
“Prahara rumah tangga hingga ditinggal wafat salah satu anak, menjadi titik balik bagi saya untuk introspeksi diri. Akhirnya, pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya membebani pikiran saya kembalikan kepada pemiliknya. Saya tinggalkan juga semua kemewahaan dan fasilitas yang selama ini saya hasilkan dari dunia bisnis. Memilih untuk menata hidup mulai dari nol, dengan mengontrak rumah sederhana. Meski demikian justru semua anak-anak memilih ikut saya,” cerita Yoddy.
Tak Putus Ditolong Allah SWT
Dari banyak bisnis dan kegiatan sosial yang dilepas, Yoddy tetap mempertahankan salah satu yayasan ponpes di Jakarta, yang selama ini diamanahkan kepadanya. Demikian juga dengan bisnis, ia hanya menggarap bisnis property skala kecil. Sedangkan untuk bisnis kontraktor, sama sekali tak lagi disentuhnya.
Meski memulai hidup baru yang sederhana, Yoddy tak pernah risau. Baginya, kebersamaan dengan anak-anak jauh lebih penting. Dan hal itulah yang membuatnya bahagia.
Kehidupan Yoddy yang berubah 180 derajat, membuat seorang istri menteri era Presiden Soeharto yang cukup dekat dengannya tergerak untuk membantu. Setiap bulan, Yoddy selalu mendapatkan kiriman sejumlah uang untuk biaya hidupnya dan anak-anak.
“Selain beliau, banyak juga teman-teman lain yang men-support secara financial dan menyemangati saya untuk bangkit. Saya selalu percaya semua itu berkat kekuatan dan pertolongan Allah SWT,” tekannya.
Di awal pandemi COVID-19, di mana Pemerintah memberlakukan sistem belajar online, Yoddy merasakan betul dampak negatifnya. Karena yayasana ponpes yang dikelola tidak bisa memungut biaya pendidikan dari para siswa maupun mahasiswa. Padahal saat itu, ia harus tetap menggaji para guru dan tetap menjalankan kegiatan sosial.
“Setiap bulan, setidaknya kami harus menyediakan dana hingga Rp 400 juta untuk setiap kegiatan yang kami gelar. Di awal pandemi bahkan saldo pribadi ATM saya sampai kosong. Tapi Alhamdulillah, Allah SWT seakan menggerakkan hati banyak orang untuk membantu. Bahkan, adik perempuan saya tidak segan-segan mentrasfer dana tersebut tanpa minta saya ganti. Lagi-lagi itu semua berkat kebesaran Allah SWT,” ucapnya, haru.
Danai Kegiatan Sosial dari Bisnis Kaki Lima
Seiring berjalan waktu, Yoddy terus mengembangkan manajemen pendidikan yayasan ponpes dan kian menggalakkan kegiatan sosial. Hingga saat ini, bukan sekadar rutin menyelenggarakan santunan maupun pembagian bingkisan untuk anak-anak yatim atau duafa, tapi juga berbagai bakti sosial lain. Mulai dari gerai makan gratis setiap Senin-Jumat di kawasan Citra Raya-Tangerang-Banten, Jumat Barokah di mesjid dan rest area KM57, pemberian beasiswa kuliah untuk anak-anak yatim dan anak-anak berprestasi, hingga membantu merenovasi mesjid dan pesantren.
“Kami juga sering menggelar kegiatan sosial di kampung-kampung di daerah Banten, mengundang anak-anak yatim dan janda lalu membagikan bingkisan dan uang. Kami pilih Banten karena menjadi kawasan terdekat dengan Jakarta tapi secara perekonomian masih tertinggal,” ungkap sosok yang dipercaya sebagai Ketua Bidang Sosial TIPAT SMA 6 Bulungan, Jakarta.
Untuk mendanai semua kegiatan sosial tersebut, Yoddy tidak meminta sumbangan dari Pemerintah. Melainkan dari keuntungan bisnis-bisnis level kaki lima yang dijalani. “Saya fokus menghidupi anak-anak asuh kami yang paling banyak dari property. Jadi kami cari rumah lelang, kami beli dan renovasi lalu dijual. Kami juga menjalankan bisnis-bisnis skala UKM seperti frozen food, keripik tempe dan Siomay. Ada juga bisnis dealer motor rumahan. Jadi memang kami berangkat dari bisnis-bisnis kaki lima. Tapi dengan kaki lima ini kita bisa menyantuni dan menghidupi banyak orang,” tutur Yoddy.
Bukan hanya itu, Yoddy juga kerap men-support modal untuk anak-anak muda yang ingin membuka usaha pinggir jalan seperti Pecel Ayam. Meskipun dalam perjalanannya tidak semua berhasil. “Intinya apa yang saya lakukan ini dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan dari Pemerintah. Bahkan yayasan ponpes kami tidak mau menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan Pemerintah, selain tak ingin direpotkan dengan urusan administrasi, kami yang bergelut dengan pendidikan Islam tidak ingin jika ada okum-oknum kami yang khilaf dan melakukan korupsi, lalu bukan nama kami saja yang buruk di mata masyarakat tapi juga agama Islam. Makanya kami tolak, padahal dana yang dikucurkan sangat besar, hingga mencapai ratusan juta. Jadi semua pendanaan memang murni dari usaha kami sendiri,” tekannya.
Antara Sedekah dan Keluarga
Untuk urusan sedekah, Yoddy tak mau perhitungan. Karena baginya, amalan sedekahlah yang nanti bakal menemaninya di alam kubur dan memberatkan timbangan amalnya di hari penghisaban kelak.
“Setelah kita meninggal nanti, maka yang menemani itu hanya ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan doa anak yang sholeh. Tapi saya cenderung fokus pada dua hal pertama. Karena kalau anak-anak, sudah cukup saya membekali mereka dengan pendidikan agama dan moral yang baik. Saya sekolahkan mereka di sekolah yang tepat. Namun, saya tidak bisa mengharapkan mereka senantiasa mendoakan saya selepas saya tiada. Karena mereka pasti punya kesibukan masing-masing. Tapi kalau ilmu yang berguna dan amal jariah, itu sudah pasti akan menemani kita. Makanya saya memilih berkecimpung di dunia pendidikan dan sosial ini,” tegas Yoddy, yang juga kerap membagikan tausyiah di berbagai mesjid atau pengajian.
Namun demikian ketika akan memberangkatkan umroh gratis kaum dhuafa, Yoddy akan mengumpulkan keluarga dan para pekerja di rumahnya. Tetapi bukan untuk meminta persetujuan mereka, melainkan bertanya tentang hak-hak mereka yang mungkin belum Yoddy penuhi.
“Alhamdulillah, keluarga, para pekerja dan orang-orang terdekat saya sudah saya berangkatkan umroh. Ketika akan memberangkatkan umroh orang lain, keluarga, assisten rumah tangga, sopir, semua saya kumpulkan. Saya tidak ingin ada protes dari mereka jika ada kewajiban saya yang belum saya tunaikan kepada mereka. Kadang mereka melarang karena sayang dengan uangnya, tapi saya tekankan saya tidak mau sayang dengan uang. Kalau ditanya uangnya dari mana? Ya saya cukup ‘ngemis’ sama Allah SWT, Alhamdulillah selalu ada jalan,” pungkas pecinta musik rock ini ,,,
Laili
Royalti Film untuk Yayasan Kanker
Masih ingatkah mengenai film bertajuk Surat Kecil untuk Tuhan, yang merupakan film drama dan biografikal Indonesia untuk remaja. Dirilis pada 7 Juli 2011 dan menjadi salah satu film terlaris di Indonesia.
Film yang diangkat dari kisah nyata yang sebelumnya tertulis dalam novel best seller dengan judul yang sama. Film tersebut bercerita tentang Gita Sesa Wanda Cantika, salah seorang putri Yoddy yang meninggal akibat menderita kanker Rhabdomyosarcoma pertama di Indonesia.
Hasil royalti dari film tersebut, sepenuhnya disumbangkan kepada yayasan-yayasan sosial, salah satunya untuk Yayasan Kanker Indonesia.