Crowdfunding Typography Banner
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cab. Marauke, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia, Ketua Komisariat PERSI Papua Selatan, Aktivis Kesehatan

dr. Mario Daniel Simatupang, SpOT, Dari Tanah Papua, Berjuang untuk Kesehatan Bangsa

Bagikan:

1

MajalahInspiratif.com, Jakarta – Lahir dan besar di Jayapura, Papua, dr. Mario Daniel Simatupang, SpOT, adalah sosok dokter yang tidak hanya dikenal karena keahliannya di bidang orthopedi, tetapi juga karena pengabdiannya yang tulus pada masyarakat. Dari pelosok Papua hingga ke forum internasional, langkahnya selalu berakar pada satu semangat, memperjuangkan kesehatan sebagai hak dasar seluruh rakyat Indonesia.

Tumbuh dengan semangat pengabdian yang diwariskan orang tua yang juga berprofesi sebagai dokter, perjalanan panjang dr. Mario Daniel Simatupang, SpOT dimulai dari tanah Papua. Kini, ia dikenal sebagai Dokter Spesialis Orthopedi sekaligus sosok penting di berbagai organisasi kesehatan nasional.

Masa kecil sosok yang akrab disapa dr. Mario ini, diwarnai dengan kehidupan sederhana di Papua. Namun, saat memasuki usia remaja, ia harus merantau ke Jakarta demi mengenyam pendidikan yang lebih baik. “Waktu itu, sekolah di Papua belum terlalu memadai jika kita ingin bersaing di kota besar. Jadi, saya memutuskan melanjutkan SMA di Jakarta, sementara orang tua tetap di Papua. Saya hidup merantau, dititipkan di salah satu kerabat. Dari situ saya belajar arti kemandirian dan perjuangan,” kenangnya.

Dari Pelosok ke Spesialis. Setelah lulus pendidikan kedokteran, dr. Mario kembali ke tanah kelahiran. Penempatan pertamanya sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) membawanya ke Okaba, sebuah distrik terpencil di Merauke. “Di sana tidak ada listrik, tidak ada sinyal, semua serba terbatas. Tapi justru itu menjadi pengalaman yang sangat berharga. Saya belajar bahwa menjadi dokter bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa,” ujarnya.

Dua tahun di Okaba, ia kemudian dipindahkan ke Kurik, sebuah kota kecil di Papua, dan diangkat sebagai Kepala Puskesmas. “Saya satu-satunya dokter di sana. Tenaga medis lain hanya perawat. Ada dokter yang datang sekadar membantu, tapi akhirnya pindah lagi. Saya bertahan dua tahun penuh. Rasanya berat, tapi juga membahagiakan,” kisahnya.

Tak lama kemudian, dr. Mario dipercaya bertugas di Instalasi Gawat Darurat RSUD Marauke. Selama dua tahun, ia menghadapi berbagai kasus darurat dengan segala keterbatasan fasilitas. Semangatnya untuk terus belajar membawanya ke Bali, menempuh pendidikan spesialis orthopedi di Universitas Udayana. Lima tahun ia jalani pendidikan penuh tantangan hingga akhirnya lulus sebagai Dokter Spesialis Orthopedi.

Suara Papua di Forum Dunia. Kepemimpinan dr. Mario bukan hanya di ruang operasi. Ia aktif dalam berbagai organisasi dan kerap dipercaya memegang peran strategis. “Saya senang mengatur, membuat regulasi, membangun sistem. Itulah mengapa saya selalu aktif di organisasi,” katanya.

Riwayat jabatannya pun terbilang prestige, ia pernah menjabat sebagai Ketua Percepatan Pembangunan Kesehatan Tanah Papua (P2KTP), Kepala IGD RSUD Merauke, Direktur Medis PON XX Papua, hingga kini masih menjabat sebagai Kepala Departemen Ortopedi dan Traumatologi RSUD Merauke. Ia juga menjadi Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Marauke, Kepala Divisi Pelayanan Sosial di Ikatan Dokter Spesialis Orthopedi Indonesia, pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, pengurus Orthopedi se-Indonesia, bahkan Wakil Ketua Perserikatan Baseball Softball Se-Papua Selatan.

“Saya percaya, memperjuangkan kesehatan adalah tugas saya. Kata berjuang itu bukan untuk hari ini saja, tapi untuk masa depan generasi selanjutnya,” tegas dr. Mario.

Dedikasi dr. Mario juga terdengar hingga mancanegara. Ia kerap didaulat menjadi pembicara di berbagai forum internasional. Mulai dari pembahasan tentang Bone Recycling and Arthrodesis di Banjarmasin, kasus Osgood Schlatter dengan Osteomielitis Epifisis di Solo, Arthroscopy Pull-Through di Jakarta, serta Masquelet Technique. Ia juga membawakan materi tentang Frozen Shoulder dan terapi PRP di Bandung dan bahkan menyampaikan kuliah di Surgery Club Ukraina ketika perang Rusia–Ukraina pecah.

“Ilmu itu tidak boleh berhenti di kita.. harus dibagi, supaya manfaatnya lebih luas,” ujarnya.

Regulasi untuk Papua dan Indonesia. Selama mengemban berbagai jabatan, dr. Mario turut melahirkan regulasi penting. Salah satunya adalah Program Bimbingan Khusus bagi Dokter Spesialis di Papua, agar kualitas mereka setara dengan sejawat dari kota besar. Ia juga menggagas Rancangan Undang-Undang Keamanan Tenaga Kesehatan di daerah rawan konflik. “Agar ketika ada kerusuhan, tenaga kesehatan bisa menyelamatkan diri tanpa halangan. Nyawa mereka sama berharganya dengan nyawa pasien,” jelasnya.

Beberapa kali, ia diundang langsung oleh Kementerian Kesehatan dan bahkan Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan. Salah satunya terkait sekolah spesialis berbasis Rumah Sakit, program yang digadang-gadang untuk menjawab keterbatasan tenaga spesialis di daerah.

Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada September 2025,  dr. Mario menyampaikan kemungkinan untuk terjun ke dunia politik. Menurutnya, hal tersebut merupakan langkah terakhir yang dapat memudahkannya mencetuskan regulasi baru terkait dunia kesehatan yang berdampak positif bagi masyarakat.

“Sebetulnya, itu jalan terakhir. Kadang memang regulasi besar hanya bisa diubah lewat jalur politik. Tapi saya sadar, masuk ke sana tidak mudah, bahkan bisa berisiko. Jadi, saya lihat situasi dulu. Hidup saya sederhana, kalau bisa bantu, saya bantu,” ucapnya.

Meski sering kali aktivitas organisasi dan perjuangan regulasi tidak menghasilkan keuntungan finansial, dr. Mario tidak pernah mundur. “Secara finansial kita memang tidak dapat apa-apa, bahkan sering keluar biaya pribadi. Tapi berkahnya datang dari Tuhan. Dan itu jauh lebih berharga,” katanya penuh keyakinan.

Pengabdian Tulus. Selain ide-ide dan regulasi untuk memperkuat sistem kesehatan Indonesia, dr. Mario juga menjalani pengabdian sosial yang tidak kalah besar. Baginya, menjadi Spesialis Orthopedi di Papua adalah panggilan sosial itu sendiri.

“Terus terang, saya menjadi Spesialis di Papua itu sudah bagian dari bakti sosial. Memang benar, gajinya besar, tetapi beban pekerjaan juga berat dan sering kali tidak seimbang. Apalagi banyak kasus di Papua yang tidak ditanggung BPJS, seperti kecelakaan akibat mabuk atau tindak kriminal. Namun sebagai dokter, kita tetap harus melayani. Entah itu korban, pelaku, atau siapa pun, kita berikan yang terbaik. Kadang ada biaya, kadang tidak ada sama sekali. Saya anggap itu semua bakti sosial,” jelasnya.

Pengabdian sosialnya juga tidak berhenti di Rumah Sakit. Dr. Mario rutin turun langsung ke masyarakat, terutama saat momentum penting seperti Hari Bakti Dokter Indonesia atau Hari Kesehatan Nasional. “Kami biasanya datang ke kampung-kampung, memberikan penyuluhan kesehatan, pelayanan kasih dan membagikan makanan sehat untuk anak-anak sekitar. Itu cara sederhana untuk mendekatkan kami dengan masyarakat, agar mereka merasa diperhatikan,” ujarnya.

Menyusun Langkah ke Depan. Bicara soal rencana ke depan, dr. Mario memilih untuk tidak terburu-buru. Menurutnya, setiap tahap harus dilalui dengan matang agar hasilnya bisa berkelanjutan. “Untuk jangka pendek, saya ingin fokus di pekerjaan dulu, memperbaiki pelayanan diri ke masyarakat dan juga meng-influence tenaga kesehatan. Dari situ, yang lain bisa ikut bergerak,” ungkapnya.

Namun, ia tidak berhenti pada langkah praktis jangka pendek. Visi jangka panjangnya adalah memperbaiki regulasi kesehatan yang selama ini dirasakan masih banyak celah. “Saya sudah mengikuti perjalanan pendidikan hingga ke tingkat spesialis dan di situ saya melihat banyak regulasi yang perlu diperbaiki. Tapi tentu harus dilakukan pelan-pelan, tidak bisa terburu-buru. Kalau buru-buru, banyak yang tidak mulus,” jelasnya.

Salah satu kritik konstruktif yang ia sampaikan untuk Pemerintah adalah pentingnya memerhatikan konteks budaya lokal sebelum menerapkan kebijakan kesehatan secara nasional. “Indonesia ini negara kepulauan. Pola kesehatan masyarakat berbeda-beda, jadi tidak semua bisa dipukul rata. Ada yang bisa dipaksa, ada juga yang tidak. Karena itu, regulasi harus dipelajari dulu dengan benar, disesuaikan dengan culture tiap daerah,” katanya menekankan.

Tak lupa, ia juga menitipkan pesan kesehatan bagi masyarakat luas. Menurutnya, biaya paling besar dalam hidup seringkali justru keluar untuk kesehatan. Penyakit degeneratif seperti Diabetes, Hipertensi dan Obesitas kerap menjadi sumber pengeluaran yang tidak sedikit, bahkan menuntut konsumsi obat seumur hidup.

“Jaga pola makan dan pola hidup. Masak jangan terlalu banyak garam, kurangi gula, dan jangan malas olahraga. Obesitas itu bisa dikendalikan asal ada kesadaran. Jangan lupa medical check up rutin, apalagi dengan adanya program Pemerintah yang sudah memfasilitasi. Itu sebenarnya sangat membantu meringankan beban negara,” tegasnya.

Ia juga menyinggung soal program kesehatan gratis yang menurutnya perlu ditata ulang. “Kalau semua gratis tanpa syarat, masyarakat jadi kurang aware. Sama seperti beasiswa, kan ada syarat IPK. Kalau kesehatan juga diberi aturan yang membuat orang tetap bertanggung jawab, maka masyarakat tidak akan meremehkan dan lebih menghargai kesehatannya sendiri. Pada akhirnya, kalau masyarakat sehat, negara ini pun akan lebih maju,” pungkasnya.

Indonesia Emas Dimulai dari Keluarga

Bagi dr. Mario, cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 tidak bisa dilepaskan dari peran keluarga. “Mau Indonesia emas, ya harus dimulai dari keluarga emas. Tidak mungkin Indonesia emas kalau keluarganya perunggu,” ujarnya tegas.

Kisah keluarganya sendiri adalah bukti nyata bagaimana prinsip itu dijalankan. Ia menikah sebelum masuk sekolah spesialis, membawa sang istri ke Merauke untuk mendampinginya. Dan saat melanjutkan pendidikan spesialis di Universitas Udayana, Bali sang istri dan buah hatinya pun turut diboyong. Namun, saat kembali bertugas di Papua, dr. Mario dan istri memutuskan untuk LDM (long distance marriage) agar anak-anak mereka bisa bersekolah dengan sistem pendidikan yang lebih baik.

Keputusan membiarkan anak-anak bersekolah di Bali adalah bagian dari perjuangannya menghadirkan masa depan yang lebih baik. “Saya ingin anak-anak saya jadi anak emas. Di Papua, belum ada standar pendidikan yang sebanding dengan kota besar. Saya tahu betul, karena lahir dan besar di sana,” jelasnya.

Dr. Mario berkisah, saat SMP di Marauke ia selalu juara. Namun ketika melanjutkan SMA di Jakarta, nilainya jeblok, bahkan sempat menempati peringkat terakhir. “Nilai merah semua. Saya harus ikut les tambahan untuk mengejar ketertinggalan. Syukurlah setelah satu bulan, saya bisa beradaptasi dan mengikuti ritme,” katanya.

Pengalaman itu membuatnya sadar bahwa anak-anak Papua sebenarnya pintar, tetapi sistem pendidikan yang lemah membuat mereka kalah bersaing. “Masalahnya bukan di anak-anaknya, tapi pada standar pendidikan yang tidak diawasi. Di kota besar ada lomba-lomba, ada sistem pembinaan, di Papua tidak ada. Itu seharusnya dikontrol Pemerintah Pusat. Kalau kita bicara keadilan sosial, seharusnya anak-anak Papua juga mendapat kesempatan yang sama,” tekannya.

Dan tahun 2025 menjadi babak baru. Setelah sang istri lolos CPNS dan ditempatkan di Mahkamah Agung Ciawi, Bogor, dr. Mario pun mengajukan pindah tugas agar bisa kembali bersama keluarga. “Keluarga itu penting, jangan sampai karier membuat kita merugikan keluarga. Jadi sekarang saya mulai karier dari nol lagi di Bogor, membangun trust dengan masyarakat sekitar,” tuturnya.

Meski melihat banyak tantangan, dr. Mario tetap memilih untuk optimis. “Mau bilang pesimis atau optimis, buat saya hidup harus optimis. Pesimis itu tidak ada gunanya. Memang pekerjaan rumahnya masih banyak, mulai dari hal kecil seperti disiplin, pola hidup, hingga sistem pendidikan. Tapi kalau kita percaya dan berusaha, Indonesia Emas itu mungkin,” katanya mantap.

Kini, dengan semangat keluarga emas dan pengabdian tanpa batas, dr. Mario melanjutkan perjuangannya. Dari Papua ke Bali, dari Merauke ke Bogor, ia terus menyalakan api optimisme bahwa bangsa yang sehat dan sejahtera dimulai dari keluarga yang kuat.

Bagikan:

Bagikan: