Crowdfunding Typography Banner
CEO Rumah Tempe Indonesia, Inkubator bisnis Seacorp Muda Indonesia

Bela Putra Perdana, Jadikan Tempe Warisan Budaya yang Mendunia Melalui Sains dan Teknologi

Bagikan:

1

MajalahInspiratif.com, Jakarta – Bagi Bela Putra Perdana, bisnis bukan sekadar mengejar keuntungan, melainkan tentang dampak. Alasan itu pula yang menjadi prinsipnya dalam membangun bisnis. Berkat inovasi yang terus diluncurkan, sosok muda perintis Rumah Tempe Indonesia (RTI) ini bukan hanya memodernisasi proses pembuatan tempe lewat sains dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan pengrajin tempe, tapi juga mampu membawa olahan kacang kedelai tersebut ke panggung dunia.

Jauh sebelum menjadi pengusaha, Bela Putra Perdana dikenal sebagai Banker profesional di salah satu bank BUMN terkemuka. Di sana ia membangun dasar kuat dalam perencanaan keuangan hingga meraih sertifikasi Financial Planner. Namun, jauh di lubuk hati ia merasa terpanggil untuk melakukan gebrakan yang mampu memberi manfaat langsung pada masyarakat.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan produsen tempe dan tahu, sejak kecil lelaki yang akrab disapa Bela ini, terbiasa melihat proses produksi dan mengenal para pengrajin tempe. Dari situlah tumbuh empati sekaligus tekad untuk memperjuangkan nasib mereka, sekaligus misi untuk mengubah wajah industri tempe di Tanah Air. Keputusan berani itu ia ambil lebih dari satu dekade lalu. Bersama sang ayah yang merupakan Ketua Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia, pada 6 Juni 2012, ia mulai merintis Rumah Tempe Indonesia (RTI). Dan kini hari jadi RTI ditetapkan Pemerintah sebagai Hari Tempe Nasional.

Tidak hanya memodernisasi proses produksi, Bela juga menciptakan terobosan-terobosan baru yang kini menjadi role model bagi ribuan pengrajin. Dari sekadar ide, RTI kini menjadi pusat inovasi produksi tempe modern yang tidak hanya mengangkat martabat pengrajin lokal, tapi juga membawa tempe ke pasar internasional.

 Ubah Wajah Industri Tempe. Dikisahkan Bela, saat itu ketika sebagian besar pengrajin tempe masih menggunakan peralatan tradisional, memasak dengan kayu bakar dan membuang limbah langsung ke sungai, ia hadir membawa perubahan. “Kami ingin memberi contoh bahwa produksi tempe bisa dilakukan dengan cara yang sehat, higienis, bahkan memiliki sertifikasi halal dan BPOM,” jelasnya.

Modernisasi produksi pun menjadi gebrakan besar. RTI mendorong para pengrajin tradisional untuk beralih dari tungku kayu bakar menuju mesin yang lebih higienis dan ramah lingkungan.Ia memperkenalkan teknologi biogas untuk mengolah limbah, menciptakan fasilitas produksi modern dan memperluas jaringan hingga ke berbagai kota, mulai dari Bandung, Cianjur, Pandeglang, Solo, Malang, hingga Medan.

“Selain lebih sehat, produksi dengan mesin juga lebih efisien dan efektif. Tidak ada polusi asap, tidak ada limbah, bahkan mesin pertama kami dari 2012 sampai sekarang masih awet,” ungkap Bela.

Pelatihan dan Kemitraan. Sejak awal, RTI berdiri dengan niat sederhana, yakni memperbaiki cara produksi tempe yang dulunya masih tradisional. Dari dapur kecil hingga ruang pelatihan, Bela membekali para pengrajin dengan pengetahuan praktis yang langsung bisa diterapkan.

Kini, RTI telah melatih lebih dari 115 ribu pengrajin tempe se-Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, peserta pelatihan tidak lagi hanya berasal dari kalangan pengrajin lama, melainkan juga wirausahawan baru yang ingin terjun ke bisnis tempe.

“Kami membuat sistem kemitraan. Misalnya ada yang mau buka usaha tempe, kami siapkan peralatan, tenaga kerja, pasar hingga jaringan ke supermarket. Jadi mitra tidak berjalan sendiri,” ungkap Bela.

Bagi wirausaha baru, RTI juga membuka kelas berbayar sebesar Rp 2 juta per peserta. Biaya itu sudah mencakup konsumsi, starter pack, pelatihan langsung, sertifikat dan kesempatan belajar kapan pun mereka mau datang kembali. “Pelatihan wajib hanya satu hari. Tapi kalau mau lanjut di hari-hari berikutnya, pintu kami selalu terbuka,” tambahnya.

Pelatihan tak hanya dilakukan di gedung RTI yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, beberapa kali RTI diminta Pemerintah Daerah untuk mengirim tim langsung ke kabupaten atau pondok pesantren. Di sana, peserta mengikuti pelatihan intensif selama seminggu, lengkap dengan pengiriman alat produksi modern buatan RTI.

Ikuti Selera Pasar. Selain menjaga tradisi tempe sebagai warisan kuliner Nusantara, Bela juga melahirkan berbagai inovasi yang mampu menembus pasar modern hingga internasional. Sejak awal, RTI memulai dengan mengolah tempe segar dalam berbagai varian, seperti tempe segitiga, tempe mendol, hingga tempe mentah yang kemudian dikreasikan menjadi aneka masakan siap saji seperti Tempe Bacem, Tempe Bumbu Kuning, Tempe Bakar Solo, hingga Tempe Rica.

Tak berhenti di situ, lahir juga kreasi baru berupa Nugget Tempe, baik dengan campuran ayam, sayuran, maupun varian khusus yang bisa dinikmati vegetarian. Ada pula Keripik Tempe yang diproduksi dengan mesin modern agar kualitasnya lebih konsisten.

Tak hanya terpaku pada kedelai. Inovasi terus dilakukan, mulai dari tempe berbahan kacang merah, kacang hijau, hingga kacang koro. Harga pun beragam, bahkan ada yang mencapai Rp 200 ribu per kilogram. Hal ini membuktikan bahwa tempe bisa naik kelas, setara dengan bahan pangan premium lainnya.

Semua produk RTI juga telah mengantongi izin BPOM dan berhasil dipasarkan di berbagai supermarket besar, termasuk Aeon. Perjalanan inovasi tersebut juga membawa Bela ke kancah global. Pada tahun 2015, tempe berhasil diekspor ke Korea Selatan dalam bentuk Tempe Beku. Lalu, pada 2023, langkah lebih maju dilakukan dengan mengirim Tepung Tempe, sebuah produk olahan yang bahkan di Indonesia sendiri belum banyak dimanfaatkan.

“Di luar negeri, tepung tempe sudah dipakai sebagai pengganti terigu, tapi di Indonesia masih jarang dipikirkan. Karena itu, ke depan kami ingin melahirkan produk-produk baru bernilai tambah, termasuk dari tepung tempe,” jelasnya.

Proses inovasi tentu bukan hal instan. Setiap tahun, tim RTI menargetkan setidaknya tiga produk baru yang sudah lengkap dengan BPOM dan sertifikasinya. Inspirasinya datang dari mana saja, termasuk saran dari konsumen, hasil perjalanan, hingga sekadar melihat sesuatu yang dianggap cocok untuk dikreasikan dengan tempe.

“Seringkali ide terbaik justru datang dari pelanggan. Mereka memberikan masukan, lalu kita kembangkan hingga jadi solusi nyata. Dari situ, lahirlah inovasi-inovasi yang tidak hanya memperpanjang umur tempe sebagai produk, tapi juga memperluas peluangnya di pasar global,” tambah Bela.

Tempe Non-GMO. Salah satu terobosan besar yang dibawa Bela adalah memperkenalkan tempe non-GMO (non-Genetically Modified Organism) pada 2014. Melalui brand mitra berlabel Tempe Sehat Amazing Farm, RTI menjadi pionir menghadirkan tempe non-GMO di rak-rak supermarket Indonesia.

“Kalau kedelai lokal umumnya non-GMO, tapi harganya lebih mahal dibanding impor. Sementara impor kebanyakan GMO. Kami yang pertama kali mengenalkan tempe non-GMO, bahkan ada yang disertifikasi organik. Itu jadi nilai tambah sekaligus pembeda,” jelasnya.

Isu kelangkaan kedelai sering muncul di publik, namun Bela menegaskan masalah sebenarnya bukan ketersediaan, melainkan harga yang fluktuatif. “Kalau di pasar tradisional, harga bisa naik hari ini, langsung harga tempe ikut naik atau ukurannya diperkecil. Tapi di supermarket tidak bisa begitu. Kami harus menjaga standar berat 450 gram per kemasan, sehingga sistem harga kami berbeda,” katanya.

Sains dan Teknologi. Ditekankan Bela, berkat sains dan teknologi, tempe yang dihasilkan RTI lebih tahan lama, dengan masa simpan hingga 12 hari dibanding 3-4 hari pada tempe tradisional. Kualitasnya juga lebih baik, tidak cepat asam, tidak cepat kuning, bahkan bisa dikonsumsi mentah dengan rasa tetap segar. “Kalau dibuat dengan cara yang bersih, konsumen yang paling diuntungkan,” tegasnya.

Namun, Bela menegaskan bahwa tempe-tempe produksi RTI bebas dari bahan pengawet. Karena sejatinya tempe tidak bisa diberi pengawet. “Tempe itu ditambahkan ragi yang merupakan makhluk hidup, kalau dicampur dengan pengawet justru akan mati. Jadi jelas tidak mungkin diberi bahan pengawet, ungkapnya.

Meski begitu, inovasi tetap dilakukan agar tempe bisa memiliki daya simpan lebih lama. Bela dan tim  RTI berhasil menemukan cara untuk memperpanjang umur simpan tempe hingga 1,5 tahun. Caranya adalah dengan melakukan proses sterilisasi di ruang khusus. “Proses ini membuat tempe bisa bertahan lama, tapi tentu ada manajemen risikonya, sehingga harus melalui serangkaian uji terlebih dahulu,” jelasnya.

Proses pengujian ini tidak sebentar. Bela mengaku, butuh waktu 6 bulan hingga 1 tahun hanya untuk memastikan hasilnya aman dikonsumsi. “Di BPOM, tempe termasuk produk yang skala resikonya rendah. Namun apabila kita menambahkan proses sterilisasi, maka akan masuk pada resiko tinggi. Maka perlu manajemen resiko terlebih dahulu untuk memastikan produknya tetap aman. Itu yang kami lakukan di RTI. Dan produk-produk RTI, sudah melewati manajemen resiko dan sudah tersertifikasi BPOM. Sehingga dijamin aman,” papar Bela.

Inovasi ini menjadi bukti bahwa Bela tidak hanya menjaga tradisi kuliner Indonesia, tetapi juga membawa tempe naik kelas melalui sains dan teknologi.

Tak hanya menjual tempe, RTI juga menyediakan bahan penunjang seperti kedelai dan ragi. Meski ragi tidak mereka produksi sendiri, namun Bela memastikan semua yang dipasarkan sesuai standar, sehingga pengrajin mitra bisa menjaga kualitas produknya.

Bela menekankan pentingnya produksi tempe yang berkelanjutan. “Kami ingin tempe ini bukan sekadar makanan, tapi juga produk yang berdaya tahan, sehat, dan diproduksi dengan cara yang bertanggung jawab,” tegasnya.

Strategi Khusus.Diceritakan Bela, perjalanan membangun RTI bukanlah sesuatu yang mudah. Tantangan demi tantangan harus ia hadapi sejak awal berdiri. Salah satunya, tidak adanya contoh yang bisa dijadikan acuan. “Waktu itu kami bingung, mau dibuat seperti apa bentuknya, bagaimana sistemnya. Semua harus kami rintis sendiri,” kenangnya.

Kesulitan berikutnya datang dari persoalan harga. Di saat harga tempe di pasaran masih sekitar Rp 3- 4 ribu, RTI justru menjual produknya di harga Rp 9 ribu. “Awalnya susah sekali masuk ke pasar. Maka dari itu, strategi kami bukan sekadar jualan, tapi mengedukasi konsumen kenapa tempe kami berbeda,” jelas Bela.

Meski demikian, RTI juga menghadapi tantangan lain, seperti pasar maklon. Perbedaan kualitas maupun rasa kerap bergantung pada kesepakatan dengan mitra. “Tempe itu kan cara pembuatannya bisa berbeda-beda. Kami selalu menyesuaikan dengan kebutuhan klien,” katanya.

Dari sisi pemasaran, RTI memilih strategi khusus. Produk mereka memang masuk ke beberapa supermarket, tetapi dengan cara yang selektif. “Kami jaga hubungan dengan mitra yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja sama. Selain itu, kami masuk ke pasar-pasar yang belum banyak dijangkau kompetitor, atau menghadirkan bentuk produk yang berbeda,” ungkap Bela.

Kini, distribusi RTI sudah mencakup Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, hingga Sumatra (Medan). Sedangkan  Kalimantan dan Sulawesi masih menjadi target berikutnya. Bela mengaku, untuk ekspansi ke wilayah tersebut, ia mempertimbangkan produk olahan seperti Keripik Tempe, yang lebih tahan lama ketimbang tempe segar.

Tidak berhenti di dalam negeri, sejak 2015 RTI mulai mengekspor tempe ke Korea Selatan. Awalnya untuk masyarakat Indonesia yang tinggal di sana, namun kini, tempe telah merambah meja makan orang asing, bahkan mulai populer di Jepang dan digemari para Influencer di Amerika Serikat.

“Kalau dulu tempe hanya untuk diaspora, sekarang sudah banyak warga lokal yang menikmatinya. Bahkan sejak 2013 kami ikut memperjuangkan agar tempe diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. Ada kemungkinan besar, 2025 akan menjadi tahunnya tempe,” katanya, optimis.

Manfaatkan Digitalisasi. Di tengah derasnya arus digitalisasi, Bela tak tinggal diam. Pandemi COVID-19 justru menjadi momentum baginya untuk melompat lebih jauh. “Waktu itu semua serba lock down, tapi tempe justru naik daun karena orang mencari makanan sehat,” ujarnya. Dari situ, ia mulai serius memanfaatkan dunia digital, baik untuk pemasaran maupun edukasi.

Salah satu terobosannya adalah menghadirkan pelatihan secara daring. Jika dulu orang harus datang jauh-jauh untuk belajar membuat tempe, kini cukup membuka website yang sudah ia siapkan. “Peserta bisa belajar dari video di website, lalu ada pendampingan via Zoom juga,” jelasnya.

Tak berhenti di sana, Bela juga berinovasi dengan membuat video animasi berbentuk kartun. Tujuannya sederhana, mengenalkan tempe sejak dini kepada anak-anak agar lebih mudah diterima. “Kalau kunjungan langsung, kartun ini akan kami putar. Ke depan, kami juga ingin mengembangkan konsep wisata tempe yang bisa bekerja sama dengan destinasi wisata,” katanya penuh semangat.

Selain itu, Bela juga menggandeng seorang chef ternama yang pernah menjadi juri internasional untuk membuat konten YouTube. Dalam format series, sang chef memasak berbagai menu berbasis tempe, sehingga audiens bisa lebih terinspirasi untuk mencoba. “Konten ini kami rancang agar bisa menghibur sekaligus mengedukasi masyarakat luas,” tambah sosok yang kini tengah melanjutkan studi S3 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan sistem hybrid.

Pencapaian Gemilang. Langkah inovatif Bela pun menuai banyak apresiasi. Beberapa tahun terakhir ia menyabet berbagai penghargaan bergensi. Di antaranya Entrepreneur Award 2023 dari Kementerian Koperasi dan UKM, SNI Award 2023 dari Badan Standardisasi Nasional, Juara 3 Food Startup Indonesia 2024 dan Mitra Bisnis Terbaik 2024 dari Kemendikbud.

Deretan pencapaian gemilang tersebut menegaskan bahwa kiprahnya bukan hanya tentang tempe, tetapi juga soal keberanian membawa produk lokal ke panggung dunia.

Seakan ingin terus memberi dampak positif bagi masyarakat, Bela juga aktif memberdayakan UMKM melalui berbagai program, termasuk sebagai Coach & Fasilitator UMKM Level Up Kominfo 2024. Ia mendampingi ratusan pelaku usaha di Bogor agar mampu bertransformasi ke dunia digital.

Di sisi lain, ia juga menjadi dosen di bidang Bisnis Digital, membekali generasi muda dengan perpaduan teori dan praktik nyata. Baginya, setiap perjalanan harus punya misi. “Saya ingin menunjukkan bahwa anak muda Indonesia mampu membawa produk lokal ke level dunia, sekaligus memberdayakan masyarakat di akar rumput,” tegasnya.

Dukungan Pemerintah. Bicara soal dukungan Pemerintah, Bela punya pandangan unik. Ia tak ingin hanya ‘disuapi’ bantuan. “Namanya juga wirausaha, ya harus berusaha. Tapi Alhamdulillah, selama ini Pemerintah banyak membantu, hanya saja tidak secara langsung,” ujarnya.

Salah satu bentuk nyata dukungan Pemerintah adalah penyediaan alat dan mesin produksi ke berbagai provinsi di Indonesia. Bahkan, RTI dipercaya menjadi penyedia solusi teknologi tepat guna bagi para pengrajin di daerah. “Di lapangan mereka akhirnya bisa merasakan bagaimana cara produksi yang lebih sehat dan modern,” jelas Bela.

Selain itu, RTI juga beberapa kali terlibat dalam program Pemerintah, seperti kompetisi kewirausahaan hingga jejaring ekosistem bisnis nasional. Tahun 2024, misalnya, mereka berhasil menjuarai ajang Food Sturtup Indonesia, yang kemudian mempertemukan mereka dengan banyak calon investor. “Kementerian Luar Negeri juga sempat mengundang kami untuk mengajarkan pembuatan tempe ke Vietnam,” ceritanya.

Andalkan Kolaborasi. Bagi Bela, kunci sukses dalam membangun usaha bukan hanya soal modal atau jaringan, melainkan tentang konsistensi untuk terus berinovasi. Ia percaya, banyak pelaku usaha yang berhenti di tengah jalan karena menyerah saat menghadapi kebuntuan. “Jangan berhenti berinovasi. Fokuslah pada tujuan awal. Kadang saat mentok, orang memilih menyerah, padahal kalau mau bertahan, jalan keluar pasti ada,” ujarnya.

Bisnis tempe, yang sepintas terlihat sederhana, ternyata memiliki tingkat persaingan yang sangat ketat. “Persaingan di dunia tempe itu bisa dibilang berdarah-darah. Penjualnya banyak sekali. Perbedaannya ada pada segmen. RTI fokus pada produk sehat, dengan sertifikasi resmi dan jaminan keamanan pangan,” jelasnya.

Awalnya, membangun pasar untuk produk tempe berkualitas memang tidak mudah. Namun, dengan pendekatan berbeda dan ketekunan, RTI berhasil menembus kelas atas dan pasar modern. Kini, persaingan memang semakin ketat, tetapi Bela justru memilih strategi yang berbeda, ia mengandalkan kolaborasi.

“Kalau jalan sendiri-sendiri, pasti mati. Karena itu, kami justru melatih teman-teman pengusaha tempe lain untuk berkolaborasi. Dengan begitu, kita bisa tumbuh bersama, bukan saling menjatuhkan,” tegasnya.

Harapan ke Depan. Setelah lebih dari 13 tahun berkecimpung di dunia tempe, Bela mengaku telah melampaui berbagai liku bisnis. Berbeda dengan banyak startup pangan lain yang bahkan sudah mengantongi pendanaan miliaran rupiah namun tak mampu bertahan lama, RTI justru semakin matang dari tahun ke tahun. “Alhamdulillah, sejak 2012 kami masih bisa berdiri. Harapannya sederhana, tetap bisa bertahan, terus naik, dan semakin banyak memberi manfaat,” ujarnya.

Manfaat yang dimaksud bukan hanya lewat produk tempe berkualitas yang sehat dan aman, tetapi juga melalui kesempatan kerja yang tercipta. Di Bogor saja, Bela mempekerjakan sekitar 50 karyawan tetap, ditambah hampir 100 orang ibu-ibu sekitar yang membantu proses produksi, terutama Keripik Tempe. Jika dihitung di setiap cabang, minimal ada 10 orang tenaga kerja. “Kami ingin semakin membuka peluang, misalnya di Medan, Pandeglang dan daerah lain,” tambahnya.

Menariknya, konsep RTI juga bisa diadopsi oleh berbagai komunitas. Ada yang menamakan diri “Rumah Tempe BUMDes”, namun tetap mendapat dukungan dari Rumah Tempe Indonesia. Prinsipnya, Bela ingin semakin banyak masyarakat yang bisa mandiri melalui usaha tempe.

Selain bisnis, edukasi publik menjadi fokus utama. Bela menyadari bahwa masyarakat masih sering mendapatkan informasi keliru tentang tempe. Karena itu, ia aktif melawan misinformasi melalui media sosial, menggelar demo produk di supermarket untuk memperkenalkan tempe sehat kepada konsumen, serta rutin menerima kunjungan dari sekolah, universitas, maupun masyarakat umum. Setiap minggu, RTI nyaris tak pernah sepi dari tamu yang ingin belajar. Bahkan, mereka berkolaborasi dengan pihak lain untuk mencetak wirausahawan baru di bidang pangan berbasis tempe.

Info Lebih Lanjut:

Rumah Tempe Indonesia

Instagram       : @rumahtempeindonesia.official

Bagikan:

Bagikan: