Entrepreneur

Emiko Larasati Sumichan: Giat Kenalkan Kain Batik Indonesia Kepada Warga Negara Asing

Bagikan:

MajalahInspiratif.com, Jakarta – Emiko Larasati Sumichan, perempuan kelahiran 5 Maret, Sarjana Hukum lulusan dari Universitas Trisakti, menyadari bahwa tidak ada yang statis. Begitupun ketika berhadapan dengan masa pandemi yang mendorong Emiko harus beradaptasi dan berpikir kreatif. Sejak masa remaja, ia seringkali berhadapan dengan perubahan dan disikapi secara positif, terutama ketika ia baru menamatkan pendidikan dan memulai karier di luar negeri.

Perjalanan Karier. Lulus sebagai Sarjana Hukum di tahun 1995, Emiko dikirim ke tanah kelahiran ibunya di Jepang, agar fasih berbahasa Jepang. Di Negeri Sakura itu, ia dituntut untuk mandiri.

“Saya menyewa sebuah ‘Heigts’ atau kamar di pinggiran Kota Tokyo. Karena biaya listrik cukup mahal, selama 2 tahun tinggal di sana saya mencuci pakaian secara manual di kamar mandi,” kenangnya.
Setelah mulai belajar dan beradaptasi, penggemar membaca, memasak dan mengoleksi batik ini mulai ‘terbuka’ dengan situasi baru yang ada di sekeliling. Ladang sayur yang terhampar di depan rumah sewaan, guru-guru Bahasa Jepang yang sepenuh hati mengajar, kebiasaan orang Jepang yang sangat menghormati orang lain, keuletan, kejujuran dan kepolosan, gaya mereka dalam menentukan pilihan hidup, tanggung jawab dan kesungguhan mereka, kian membuatnya kerasan.

Diceritakan Emiko, mempelajari bahasa Jepang tidaklah mudah. Ada tiga macam huruf yang harus dipelajari. Selain kaiwa atau percakapan, ada huruf Hiragana, Katakana dan huruf Kanji yang jumlahnya bisa ribuan karakter. Selama enam bulan dan setiap hari ia belajar di sekolah bahasa, Emiko masih tidak bisa menangkap pembicaraan orang-orang di dalam kereta menuju atau pulang sekolah. Begitu pula dengan poster-poster yang dipasang dengan sangat unik di dalam kereta. Ia sama sekali tidak mengerti. Namun Emiko mulai merasa harus memberanikan diri untuk arbaito atau bekerja paruh waktu agar bisa memakai bahasa Jepang dan mendengar langsung pemakaian kata-kata bahasa itu. Akhirnya, setelah berunding dengan ibunya di Jakarta, ia mulai mencari pekerjaan di sekitar sekolah bahasa dan memberanikan melamar menjadi pelayan restoran tradisional Jepang.

Ia pun diterima bekerja ryokan atau penginapan tradisional dengan dapurnya yang khas Jepang dan berubah menjadi hotel bisnis dengan restoran Jepang di lantai 1, dengan catatan hanya bisa pulang setelah jam 10 malam. Emiko menyanggupi walau sebenarnya sudah tidak ada jadwal bis yang bisa mengantarnya pulang.

“Jadi saya mengorbankan gaji 1 jam pertama saya setiap hari untuk naik taksi dari depan stasiun. Setiap hari saya bekerja di restoran sesudah sekolah bahasa selesai, menunggu di perpustakaan sambil membuat PR, kemudian mulai jam 16:00 sampai jam 22:00 bekerja di sana, dan tiba kembali di rumah mendekati jam 24:00 malam,” ceritanya.

Tak ingin terus menerus bekerja sebagai pelayan, Emiko mulai mencari pekerjaan lain. Ia mendapatkan kesempatan untuk mengajar Bahasa Indonesia di sebuah akademi bahasa asing bernama Daigaku Shorin kepada salah satu pegawai negeri Jepang.

Walau berbeda dari bidangnya, Emiko berusaha mencoba menerima tantangan dan mengajar sungguh-sungguh dengan mengutamakan prinsip Magokoro, yakni melayani orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan balasan. Saat lelah, ia memotivasi diri agar tetap semangat. Karena apa yang saat itu ia dapatkan adala kesempatan, maka lakukanlah yang terbaik.

Seiring waktu, Emiko merasakan bahwa mengajar adalah panggilan jiwa yang sebenarnya. Apalagi, murid-murid yang belajar Bahasa Indonesia kepadanya adalah orang pilihan yang akan mengembangkan bisnis di Indonesia, sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

“Selain mengajar bahasa, saya juga memperkenalkan kebiasaan orang Indonesia yang ‘unik’ atau cara berpikir dan kebudayaan yang berbeda, agar mereka bisa mengerti lebih dulu sebelum sampai di Indonesia,” terang Emiko.

16 tahun menetap dan 11 tahun menjadi tenaga pengajar Bahasa Indonesia di Tokyo, istri dari Djoko Sirat yang berprofesi sebagai musisi dan peternak ikan hias Discus ini sempat tidak memiliki keinginan untuk kembali ke tanah air. Tapi Tuhan memiliki rencana lain. Bencana alam besar yang menimpa Jepang pada tahun 2011 yaitu gempa bumi, tsunami dan radiasi kebocoran nuklir di Fukushima, menyebabkan ibunya sangat khawatir dan tidak mengijinkannya untuk menetap di Tokyo.

“Saya membuang tiket ‘pulang’ ke Tokyo saya, dengan berat hati, dan menerima ‘nasib’ saya harus kembali ke tanah air tanpa harapan sedikitpun. Setelah 4 bulan mengganggur, dan masih tetap ingin kembali ke Tokyo, ibu saya berkata, mengapa tidak mengajar Bahasa Indonesia di Jakarta saja. Para sahabat saya juga menganjurkan untuk berada di sisi ibu saya yang sudah semakin sepuh usianya. Kapan lagi mau berbakti kepada orang tua. 16 tahun adalah waktu yang sangat lama meninggalkan ibu dengan adik di Jakarta, karena ayah yang berasal dari Bali, sudah wafat sejak saya kuliah tingkat pertama,” katanya.

Akhirnya, Emiko memutuskan mulai mengajar di Jakarta dengan cara menghubungi murid terakhir waktu di Tokyo, yang adalah pegawai kedutaan Jepang di Jakarta. Ia menjadi murid pertama di Jakarta sejak tahun 2011. Emiko lalu mendapatkan murid dari mulut ke mulut, tanpa pernah memasang iklan sama sekali.

Berjualan Batik. Pandemi yang tiba-tiba melanda membuat hari-hari berubah. Dari jadwal mengajar penuh mulai jam 7 pagi sampai sore setiap hari menjadi jadwal kertas kosong, putih bersih karena semua orang Jepang diminta kembali ke negaranya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Selama 5 bulan Emiko embali mengganggur dan akhirnya memulai kelas online. Hasil yang didapat jauh berkurang karena tarif mengajar online disesuaikan dengan keadaan pandemi yang tidak menentu.

Emiko menabung hasil mengajarnya selama setahun. Tabungan tersebut kemudian dijadikan sebagai modal membuka bisnis batik.

“Jadi saya membeli batik dari para pengrajin di beberapa daerah. Kemudian memberanikan diri membuka toko batik kecil di rumah dengan nama Toko Batik Anggrek. Selanjutnya saya promosi ke beberapa murid lama. Saya katakan saya bisa membuatkan kemeja batik custom untuk mereka. Sedikit demi sedikit banyak yang datang ke Toko Batik Anggrek, melihat koleksi batik dan terkejut akan indahnya kain Batik Tulis Indonesia,” terang pecinta batik tulis ini.

Konsumennya yang mayoritas orang asing ini juga belajar sedikit banyak tentang batik asli yang bukan hasil cetakan mesin printing. Emiko selalu menekankan pentingnya memilih batik yang asli dan bukan printing karena ini adalah hasil karya seni bernilai tinggi yang penuh filosofi kehidupan Nusantara.

“Ini adalah kebudayaan kita, yang perlu kesabaran dalam membuat sehelai kain batik tulis,” tambahnya.

Lewat usaha yang dibangun dengan cinta, harapannya semoga warga asing semakin belajar tentang batik asli Indonesia dan semakin senang mengenakan baju Batik Tulis, dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia, serta semakin terjalin hubungan yang harmonis antara Indonesia dan Jepang.

“Saya hanya menjadi tenaga pengajar Bahasa Indonesia bagi orang asing, dan memperkenalkan lebih dekat lagi, kain batik tulis asli Indonesia kepada mereka. Harapan saya agar kita semua baik orang asing, pengrajin batik berbahagia, sehat selalu dan semakin baik hari-harinya di Indonesia,” tutup Emiko.

Bagikan:

Bagikan: