Crowdfunding Typography Banner

dr. Anggia Farrah Rizqiamuti, SpA, Mkes ; Aktif Sharing Informasi Kesehatan via Webinar dan Medsos

Bagikan:

ANGGI 8

MajalahInspiratif.com, Jakarta –Pandemi COVID-19 bukan halangan bagi dr. Anggia Farrah Rizqiamuti, SpA, Mkes, untuk terus berbagi informasi tentang kesehatan. Baik mengenai kesehatan anak yang menjadi spesialisasinya, maupun secara umum. Dokter cantik yang akrab disapa dr. Gia ini bahkan kerap diundang sebagai narasumber dalam web seminar (webinar), kuliah Whatsapp hingga beberapa platform digital.

 Menjalani profesi sebagai dokter memang telah menjadi cita-cita dr. Gia sejak kecil. Selain karena memiliki ayah yang menggeluti karier sebagai dokter, sebagian besar keluarganya juga menjalankan pekerjaan yang sama. Bahkan, sang suami juga seorang Spesialis Orthopedi di sebuah Rumah Sakit, membuat dr. Gia sangat familiar dengan bidang kedokteran.

Dan sebagai langkah lanjutan, setelah meraih gelar sebagai Dokter Umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung-Jawa Barat, dr. Gia memantapkan diri mengambil Spesialis Anak dan Magister Kesehatan di universitas yang sama.

“Sejak SMA sebenarnya saya sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sebagai Spesialis Anak. Karena perkembangan mereka masih panjang,  kalau kita tidak mengoptimalkan perkembangannya sejak dini maka quality of life-nya tidak akan optimal. Itu yang bikin saya tertarik menjadi Spesialis Anak dan berharap bisa membantu mengoptimalkan kualitas perkembangan mereka,” ungkap dokter yang saat ini sibuk sebagai Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Siloam dan Rumah Sakit Asri, Purwakarta, serta staff pengajar di Institut Rajawali, Bandung-Jawa Barat.

Tertarik dengan Bidang Syaraf Anak. Meski telah mengantongi gelar SpA atau Spesialis Anak, namun tugas yang diemban dr. Gia masih sebagai Dokter Anak Umum yang menangani pasien anak dengan berbagai macam kelainan. Namun demikian, dokter kelahiran Bandung, 2 Oktober ini, sangat tertarik dengan bidang syaraf anak.

Ketertarikan itu pula yang mendorong dr. Gia sempat meniti karier di Pusat Perkembangan Potensi Anak di Suryakanti dan di Klinik Kanaya yang khusus melayani tumbuh kembang syaraf anak.

“Secara keseluruhan saya menangani banyak kasus mulai dari bayi baru lahir hingga anak-anak. Mungkin ada yang lahir dengan gangguan sesak nafas disertai kejang dan sebagainya. Ada juga anak yang saat pertumbuhannya ada kejang disertai demam, epilepsy atau lainnya yang banyak berhubungan dengan syaraf anak. Saya berharap tidak hanya menyembuhkan sakitnya saja tapi kita memerhatikan proses perkembangannya di kemudian hari. Jadi quality of life-nya yang juga harus kita perhatikan,” paparnya.

Dijelaskan dr. Gia, pada tiga tahun pertama otak anak berkembang dengan pesat. Ketika syaraf otak mereka mengalami gangguan baik dari faktor internal seperti pola asuh yang salah atau karena penyakit yang mendasari, maka akan mengganggu perkembangannya. “Di tiga tahun pertama anak kita juga harus mendeteksi ada ganguan atau tidak, sehingga ketika ada sesuatu bisa kita cegah dan lakukan terapi segera. Selain itu kita bisa mengedukasi orangtuanya,” ungkapnya.

Sharing Informasi Kesehatan. Bukan hanya menjabat sebagai dokter anak sekaligus dosen, dr. Gia juga aktif dalam memberikan informasi seputar kesehatan ibu dan anak lewat media sosial. Tak jarang, ia juga didapuk sebagai narasumber di beberapa platfoarm digital Youtube serta web seminar (webinar).

“Selain sering diminta mengisi acara promosi kesehatan seperti kuliah Whatsapp, saya juga sebagai dokter spesialis anak di komunitas Fun with Momi. Jadi kami rutin mengadakan promo kesehatan dalam bentuk live di Instagram, dan saya sebagai pembicaranya. Hampir seminggu atau dua minggu sekali, bersama seorang teman saya juga menggelar IG Live lewat akun Kiddy Corner. Materinya disesuaikan dengan tema-tema yang sedang hits dan dibutuhkan kaum ibu. Dan biasanya kita bisa mengulang dengan tema yang sama di komunitas yang berbeda atau sesuai request,” jelas dr. Gia.

Di webinar, dr. Gia kerap mengupas topik seputar kesehatan ibu dan anak secara umum, seperti diare, batuk-pilek ataupun demam berdarah yang menyerang anak-anak. “Bersama seorang sejawat, saya juga punya grup Whatsapp dengan nama Chat and Share with dr. Anggia, yang sudah ada sejak bulan Oktober 2020 lalu. Dan kami pernah menggelar kopi darat, jadi face to face dan silaturahmi secara langsung. Anggotanya kebanyakan orang tua dari pasien lalu berkembang dari mulut ke mulut. Di grup tersebut, kami rutin mengadakan sharing tapi tidak terpatok waktu. Mereka bisa konsultasi masalah kesehatan via grup Whatsapp tersebut ataupun lewat jaringan pribadi saya.  Biasanya yang mereka tanyakan menjadi bahan ilmu buat anggota lainnya,” cerita dr. Gia yang tidak pernah meminta fee untuk setiap kali jadi pembicara di media-media sosialnya tersebut.

Suka Duka. Sama seperti profesi lain, menjalani karier sebagai Dokter Spesialis Anak juga tak luput dari suka duka. Sebagai tenaga medis, tentunya dr. Gia selalu bersyukur manakala bisa membawa seorang bayi atau anak-anak keluar dari masa krisis atau sembuh dari suatu penyakit maupun kelainan. Namun, ia pun tak bisa menghindar dari duka mendalam manakala pasien yang dirawat tidak terselamatkan. Atau menemukan pasien yang terlambat untuk ditangani karena adanya human error.

“Saya sering sedih kala menemukan pasien anak yang telat ditangani. Misalnya pada kasus anak dengan speech delay. Karena kurangnya pemahaman orang tua terhadap tumbuh kembang anak, sehingga ketika usia 2 tahun belum bisa bicara dianggap normal. Dan baru sadar jika anaknya mengalami keterlambatan bicara di usia 5 tahun. Usia yang sudah cukup terlambat, sehingga proses terapinya jadi lebih panjang. Ada juga yang terlambat dibawa ke dokter karena keterbatasan biaya,” keluh dr. Gia.

Demikian juga di masa pandemi seperti saat ini, ketika anak sakit banyak orang tua yang enggan membawa mereka ke Rumah Sakit karena khawatir terpapar COVID-19. “Padahal bila sedikit saja terlambat nyawa anak mungkin tidak tertolong,” lirihnya.

Mengedukasi Orang Tua Perbaiki Pola Asuh

Menurut dr. Gia, ada dua hal yang bisa memicu terjadinya gangguan syaraf pada anak, yakni non-infeksi dan infeksi, juga kelainan perkembangan bawaan. “Untuk non-infeksi misalnya Epilepsi, sedangkan untuk infeksi itu seperti Meningitis, infeksi otak yang disebabkan oleh TBC maupun bakteri. Saya juga sering menemukan masalah perilaku anak seperti Autis, kebanyakan karena pola asuh yang kurang tepat. Salah satunya dengan membiarkan anak terlalu sering bermain gawai, karena dianggap lebih anteng. Tapi ternyata ke depannya malah over focus, dipanggil cuek dan interaksi sosial juga terganggu. Itu yang sering saya dapatkan ketika praktek,” terang dr. Gia.

Ditambahkan dr. Gia, selain karena adanya faktor kelainan genetik, anak-anak yang mengidap Autis juga bisa disebabkan karena adanya faktor eksternal. “Dari pengamatan saya, anak-anak Autis itu awalnya ada yang memiliki kemampuan seperti anak normal lainnya. Jadi kemampuan bahasa atau kosakata bicaranya pernah banyak dan sudah lancar sesuai usia. Tapi mungkin karena adanya faktor pola asuh, atau kurangnya interaksi atau bilingual di mana dalam satu rumah menggunakan beberapa bahasa. Selain itu juga  sering disibukkan dengan gadget sehingga over focus dan memicu hal-hal yang menyerupai Autis. Padahal memang belum tentu Autis, karena akan ada banyak variasinya tapi sudah ada gejala namanya Autistic Spectrum Disorder. Nah, itu ada yang murni Autis, ada juga yang disebabkan oleh kelainan-kelainan yang lain, itu yang harus kita gali. Kalau ada kasus seperti itu biasanya mulai kita rujuk ke Rumah Sakit Khusus Tumbuh Kembang Anak di Bandung untuk digali lebih lanjut. Dan tugas kami mengedukasi orang tua untuk memperbaiki pola asuhnya.”

Anak-anak yang terdeteksi Autis sejak dini, yakni di bawah usia 3 tahun maka intervensinya akan lebih mudah. “Tiga tahun pertama merupakan masa emas pertumbuhan otak anak, anak-anak dengan gangguan Autis masih bisa diatasi dengan terapi secara teratur. Biasanya kita bekerja sama dengan rehabilitasi medik untuk terapi perilaku atau kita bekerja sama dengan psikolog perekembangan anak untuk mengedukasi orang tua guna memperbaiki pola asuh mereka di rumah.  Oleh sebab itu dibutuhkan kerja sama antara dokter anak dan orang tua. Tetapi, kalau terlambat terdeteksi, biasanya progress terapinya agak lama,” tekan dr. Gia.

Buku Alihkan Perhatian Anak dari Gawai

Menurut dr. Gia, ada banyak cara yang bisa dilakukan orang tua untuk mengoptimalkan perkembangan otak anak di masa keemasan. Selain memberi kebebasan anak untuk bereksplorasi namun tetap dalam pengawasan, membaca buku juga bisa mengasah kemampuan otaknya.

Cara tersebut telah dr. Gia lakukan kepada buah hatinya, Abdillah Abqary Rajab, yang kini berusia 3 tahun. “Sebelum genap berusia 2 tahun, saya sudah sering mengajak dia ke toko buku, karena kebetulan saya juga hobi membaca. Sebelum pandemi, kami bahkan punya jadwal rutin ke toko buku. Walhasil, hingga saat ini dia selalu minta dibacakan buku sebelum tidur,” terang istri dari dr. Fathurrahman, SpOT ini.

Menurut dr. Gia, selain jadi hobi membaca ternyata buku juga ampuh mengalihkan perhatian anak dari gawai dan menambah perbendaharaan kosakata yang dimiliki anak. Namun, diingatkan dr. Gia, untuk buku-buku bilingual atau dengan beberapa bahasa asing sebaiknya selama anak belum bisa berbicara bahasa asingnya tidak dibacakan. Agar  bahasa yang ditangkap anak tidak tercampur-campur. “Jadi tetapkan dulu bahasa ibu atau bahasa yang biasa digunakan untuk komunikasi sehari-hari, setelah lancar bisa masuk bahasa lain,” tekan dr. Gia.

Lazimnya anak-anak yang senang bermain bersama teman-teman seusianya, dr. Gia juga tidak membatasi buah hatinya dalam pergaulan. “Pada prinsipnya anak harus dieksplor. Meski ada batasan tapi jangan terlalu di-skip. Sebab, kalau kita protektif anak cenderung tidak bisa berkembang. Saya ingin anak saya tumbuh seperti anak seusianya. Jadi bukan tidak boleh ini, tidak boleh itu, karena setiap anak perlu mencoba. Ketika anak melakukan kesalahan jangan larang buat melakukan kesalahan tapi kita luruskan supaya dia belajar. Bagaimana anak mau belajar kalau segala hal kita larang. Jadi biarkan anak berkembang sebagaimana mestinya, kita cukup mengarahkan sebagai orang tua,” ujar dokter yang saat ini masih menetap di Bandung dan bekerja di Purwakarta ini …

 

 

Laili

Bagikan:

Bagikan: